Kamis, 14 April 2011

TRAUMA ABDOMEN

I. DEFINISI
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
II. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.

Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
Trauma merupakan penyebab tertinggi kematian pada orang dewasa yang berusia dibawah 40 tahun dan menduduki peringkat ke 5 penyebab kematian pada semua orang dewasa.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu
1. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
Organ pada abdomen yang terkena kerusakan terbagi atas dua (Swearingen & Kose, 1999), yaitu :
1. Organ Padat / solid yaitu : hati, limpa dan pancreas
2. Organ berlubang (hollow) yaitu : lambung, usus dan kandung kemih.
III. PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul pada abdomen disebabkan oleh pengguntingan, penghancuran atau kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus atau struktur abdomen yang lain.
Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan pada setiap struktur didalam abdomen. Tembakan menyebabkan perforasi pada perut atau usus yang menyebabkan peritonitis dan sepsis.
Patofisiologi yang terjadi berhubungan dengan terjadinya trauma abdomen adalah :
1. Terjadi perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada jaringan, kehilangan darah dan shock.
2. Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system makroendokrin, mikroendokrin.
3. Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan perdarahan massif dan transfuse multiple
4. Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh sekresi saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum
5. Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat kerusakan integritas rongga saluran pencernaan.
• Limpa :
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.
• Liver :
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu.
• Esofagus bawah dan lambung :
Kadang-kadang perlukaan esofagus bawah disebabkan oleh luka tembus. Karena lambung fleksibel dan letaknya yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering disebabkan oleh luka tembus langsung.
• Pankreas dan duodenum :
Walaupun trauma pada pankreas dan duodenum jarang terjadi. Tetapi trauma pada abdomen yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi disebkan oleh perlukaan di pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan karena letaknya yang sulit terdeteksi apabila terjadi kerusakan.
IV. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Yang disebabkan oleh nyeri dibahu adalah :
1. Kehr’s sign
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben
2. Mual dan muntah
3. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah). Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
l. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorax.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL sbb.:
• Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
• Trauma pada bagian bawah dari dada
• Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
• Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
• Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sbb.:
• Hamil
• Pernah operasi abdominal
• Operator tidak berpengalaman
• Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
VI. PEMERIKSAAN KHUSUS
A) Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.
B) Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.
C) Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi.
VII. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Abdominal paracentesis à menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi
2. Pemeriksaan laparoskopi à mengetahui secara langsung peneyebab akut abdomen
3. Pemasangan NGT à memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen
4. Pemberian antibiotik à mencegah infeksi
5. Laparotomi.
Sebelum operasi à pemasangan NGT, pemasangan dauer-katheter, pemberian antibiotik, pemasangan

















BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA ABDOMEN
A. MANEJEMEN KEPERAWATAN
a. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :

1. Trauma Tembus abdomen
 Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
 Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
 Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi.
 Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
 Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.

2. Trauma tumpul abdomen
 Dapatkan riwayat detil jika mungkin sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah. dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
• Metode cedera.
• Waktu awitan gejala.
• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
• Waktu makan atau minum terakhir.
• Kecenderungan perdarahan.
• Penyakit danmedikasi terbaru.
• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• Alergi.
 Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

B. PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c. Gunting baju dari luka.
d. Hitung jumlah luka.
e. Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a. Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b. Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c. Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.
d. Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
6. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
7. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
8. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
 Jahitan dilakukan disekeliling luka
 Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
Agens kontras dimasukkan melalui kateter ;
sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
9. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
10. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
11. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.
C. PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :

 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
 Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
 Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

D. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994). Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi/terkontrol.
Kriteria hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
-Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikanpenyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/antibiotik mencegah perkembangan mikroorganismepatogen.
3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi
c. menunjukkan skala nyeri
d. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan
menambah pengetahuan klien tentang nyeri

e. Observasi tanda-tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
f. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
- Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang.
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = Mandiri penuh
1 = Memerlukan alat Bantu.
2 = Memerlukan bantuan dari orang lain untuk
bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = Membutuhkan bantuan dari orang lain dan
alat Bantu.
4 = Ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam
aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
b. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
c. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
d. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar